“sejak aku lahir, Daddy adalah ayah terbaik yang tidak
pernah bisa kalian bayangkan. Aku hanya ingin bilang.. aku mencintainya.. amat
sangat” ucap Paris Katherine Jackson (11 Tahun). Itulah pidato singkat putri
Michael Jackson di depan peti jenazah sang ayah. Pidato itu dimata banyak orang
telah menjadi pidato kematian yang sangat mengesankan.
Lazim terjadi, dikatakan mengenai
seseorang yang sudah meninggal pastilah kesan baik dan hal baik mengenainya
semasa hidupnya. Bagaimana kalo tidak ada hal baik yang bisa dikatakan ? saya
termasuk yang percaya keseimbangan, seburuk-buruknya kisah hidup seseorang
pastilah ada satu titik kebaikan, sebaik-baiknya seseorang pasti ada satu saja
kekurangan.
Seorang ayah yang paling galak
dimata anak-anaknya ternyata seorang atasan yang sangat peduli pada karyawan di
perusahaan. Seorang guru yang disukai oleh murid-muridnya, disisi lain menjadi
pribadi yang asosial (tidak bermasyarakat) di kampungnya. Seorang ibu yang
begitu peduli dengan lingkungannya ternyata menjadi dosen yang dijuluki killer di depan mahasiswanya.
Jika pidato Paris juga disimak
dan dijadikan bahan refleksi oleh para guru, akan muncul pengandaian sepadan
dengan pidato kematian Paris kepada ayahnya. Wahai para guru !?!?!?
Bayangkan !!! apa yang akan dikatakan, dibisikkan, atau bahkan
dipidatokan oleh murid-murid anda ketika peti jenazah anda akan dibawa ke liang
lahat ? perjumpaan enam tahun, tiga tahun, dua tahun atau mungkin hanya tiga
bulan dengan para murid pasti akan meninggalkan kesan, entah baik ataupun
kurang baik.
Mengingat tindakan
Pidato kematian banyak kali bisa
menjadi inspirasi perilaku para guru dalam proses pembelajaran di kelas. Kalimat
bertuah dalam pendidikan kiranya tetap aktual bahwa “yang diingat oleh siswa bukan yang diajarkan gurunya, tetapi yang
dilakukan”. Murid mengingat yang dperbuat gurunya, kebiasaan-kebiasaan,
serta berbagai kesan dalam pertemuan di kelas. Materi pelajaran boleh dilupakan
oleh siswa, tetapi kesan apapun mengenai sang guru pasti tidak dilupakan.
Jika demikian yang terjadi,
sama-sama berbicara di hadapan siswa, mengapa tidak memilih ungkapan yang enak
didengar. Tidak jarang siswa mengenang gurunya sebagai nyelekit, sinis, sangar, serem, atau jaim (jaga image!). Namun tidak
sedikit siswa yang terkesan dengan sang guru yang murah senyum, penuh
perhatian, akrab menyapa, penjelasannya enak di dengar dan dipahami. Cara guru
membawa dirinya ternyata mempunyai andil paling besar bagi siswa dalam memahami
materi pelajaran.
Tempo hari saya menghadiri
upacara pernikahan di suatu tempat. Satu hal yang menarik, tentu saja sejauh
pengalaman saya hal ini belum pernah terjadi di pernikahan manapun, salah satu
doa yang diungkapkan oleh mempelai adalah untuk guru-gurunya. Untuk para guru
yang pernah mendidik pasangan pengantin, mereka mengucapkan terimakasih karena
telah mengantarnya memasuki kehidupan berkeluarga, menjadi pribadi yang baik
dan patut dicontoh. Sebagai salah satu hadirin, saya meyakini penganti tersebut
pasti mempunyai pengalaman baik mengenai gurunya, sampai-sampai dalam
pernikahanpun para guru diangakt dalam wujud doa.
Pada awal tahun ajaran, sebagai
pembekalan, workshop, penyegaran,
atau forum refleksi untuk para guru, diselenggarakan dengan sengaja demi
perbaikan proses pembelajaran di kelas. Niatan baik tersebut mestinya bukan
demi formalitas dan dianggap angin lalu. Baik kiranya satu hal saja para guru
mencoba membayangkan apa saja yang akan diucapkan atau
dipidatokan oleh para siswa kita ketika saat gurunya meninggal ? Untuk itu
para guru akan berusaha sekuat hati menyampaikan proses pembelajaran dengan
sebaik-baiknya. Dengan takzim setiap muridnya akan meminjam kalimat putri
Michael Jackson: “saya hanya ingin
bilang, guruku adalah orang tebaik yang kujumpai dalam hidupku..!!” #MENJADI GURU UNTUK MURIDKU